Akhir dari Virus Korona

Tiga bulan lalu, tidak ada yang tahu soal keberadaan SARS-CoV-2. Namun kini virus tersebut telah menyebar luas hampir ke seluruh penjuru negeri, dan telah menginfeksi setidaknya 446.000 orang yang mungkin sebagian kita kenal dan sebagiannya lagi tidak kita kenal. Kejadian tersebut tentunya menciderai sektor ekonomi dan sistem pelayanan kesehatan, serta membuat berbagai rumah sakit penuh dan tempat umum menjadi sepi. Baca lebih lanjut

Urgensi Keterbukaan Data serta Informasi Dalam Menangani dan Menanggulangi Wabah COVID-19

Banyak negara mengumpulkan informasi menggunakan berbagai alat sensor data dan aplikasi kesehatan untuk mencatat persebaran penyakit. Berdasar laporan yang diterbitkan oleh New York Times (NYT), minimnya keterbukaan diberikan oleh berbagai negara dalam mengumpulkan informasi atas tiap individu serta mereka yang tergolong sebagai pasien COVID-19. Baca lebih lanjut

Imunitas Kawanan: Upaya Mengembalikan Kompetisi Semestinya atau Upaya Pembunuhan Masal?

Ketika sebagian negara di benua utama Eropa memilih memberlakukan dan mendisiplinkan karantina bahkan pengurungan (lockdown)–dengan meliburkan sekolah-sekolah dan memasang tantara di jalan untuk menjaga–justru pemerintah Inggris memberikan arahan pada rakyatnya agar tetap tenang dalam merespon wabah yang tengah terjadi di hampir seluruh dunia (pandemi global)[1]. Khususnya pekan kemarin, masyarakat dunia dikejutkan dengan usulan yang cukup menantang dari pemerintah Inggris. Baca lebih lanjut

Terapi Rokok: Sebuah Upaya Melawan Stigma Negatif Rokok?

Dilansir dari liputan berita Kompas yang bertajuk “Kisah Farida, Wanita yang Terselamatkan Hidupnya karena Tembakau”, Farida merupakan seorang penderita kanker stadium IVa, dan diharuskan untuk menjalani operasi, akan tetapi suami Farida tidak menyetujui tindakan operasi, dan akhirnya Farida memilih untuk melakukan terapi alternatif untuk mengobati penyakitnya, yakni melalui terapi rokok yang dikembangkan oleh Greta Zahar. Baca lebih lanjut

Implikasi Prinsip Nonmaleficence-Beneficence dalam Kerangka Utilitarian

Prinsip nonmaleficence berdiri dalam kerangka fondasi primum non nocere, yakni upaya untuk tidak melakukan tindakan yang dapat memberikan rasa sakit atau membahayakan[1]. Fondasi tersebut telah lama terpatri dalam sumpah Hippocratic, yang secara jelas menyatakan bahwa seseorang yang mendalami ilmu dan seni medis akan selalu melakukan yang terbaik dalam upaya mengobati, dan tidak akan pernah menyalahgunakan pengetahuan dan keahliannya untuk menyakiti atau pun melukai pasiennya[2]. Baca lebih lanjut

Mungkinkah Tenaga Medis Melakukan ‘White Lie’?

Seorang tenaga medis terikat dan berpegang pada kode etik[i] dan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku. Beberapa kewajiban yang dilekatkan pada seorang tenaga medis adalah hak atas informasi, hak untuk menolak treatment baik obat-obatan maupun tindakan serta konsekuensi dan dampak yang ditimbulkan dari putusan ini, hak atas privasi, hak atas kerahasiaan serta limitasi akses terhadap riwayat kesehatan yang terekam dalam institusi kesehatan, hak atas segala informasi bila obat-obatan dan tindakan yang akan diberikan merupakan bagian dari eksperimentasi-riset[ii], hak untuk memperoleh layanan kesehatan secara sungguh-sungguh. Tentu kode etik dan SOP tersebut dibentuk atas dasar kebaikan. Akan tetapi ada kalanya justru tindak kebaikan ini terhalang oleh berbenturan kebaikan lainnya, summum bonum atau kebaikan yang nilainya lebih tinggi[iii]. Baca lebih lanjut

Another Life (2019), Tawaran Skenario Atas Interaksi Makhluk Asing

Serial orisinal garapan Netflix bergenre sci-fi atau mungkin bisa dipahami secara sederhana dengan sebuah karya fiksi spekulatif ini sungguh sayang untuk dilewatkan. Mengambil latar di tahun sekian–belum dijelaskan tepatnya pada tahun berapa–di Bumi, saat manusia telah mampu mengoperasikan jump drive[i] dan cryosleep chamber[ii] untuk perjalanan jauh antariksa. Di masa tersebut sebuah satelit asing berbentuk limit datang dan memaksa parkir di suatu wilayah di Bumi. Kelak satelit asing tersebut diduga berasal dari Pi Canis Majoris[iii] dan dugaan tersebut nantinya menuntun manusia untuk melakukan penjelajahan jauh antariksa. Tentu saja seperti cerita-cerita sci-fi berbau alien lainnya, penjelajahan tersebut membawa misi untuk menjalin kontak dengan peradaban alien. Baca lebih lanjut

DNA dan Krisis Identitas

Mungkinkah membawa sains ke dalam filsafat? Jawabannya tentu saja bisa. Hal tersebut berkaitan dengan identitas personal.

Saat para filsuf dihadapkan pada pertanyaan tentang hal apa yang membangun sebuah identitas personal, mereka cenderung berpegang pada sebuah deskripsi ketimbang definisi. Bahkan ilmu sosial telah gagal untuk menjelaskan “identitas” semestinya. Kamus Inggris Oxford merujuk identitas sebagai suatu kesamaan seseorang atau benda di segala waktu maupun keadaan; sebuah kondisi atau kenyataan bahwa ia adalah seseorang atau suatu benda itu sendiri dan bukan yang lainnya. Sayangnya, filsafat terus mengelak ketidakmampuannya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan “kesamaan” terhadap sesuatu yang berubah. Pada akhirnya, definisi yang tertera di kamus menjadi sesuatu yang belum mungkin diterapkan. Baca lebih lanjut